Sunday, November 29, 2009

Pengembangan Agribisnis Berskala Kecil

Pengembangan Agribisnis Berskala Kecil

Paling tidak selama masa transisi dalam PJP-II ini, kita perlu mengembangkan strategi dan kebijaksanaan yang menempatkan agroindustri (dan agrobisnis) sebagai salah satu sektor unggulan. Sumber-sumber pertumbuhan yang cukup potensial perlu dimanfaatkan untuk memacu tingkat pertumbuhan sesuai dengan sasaran pembangunan ekonomi pada PJP-II ini, bahkan kalau bisa melampaui sasaran-sasaran tersebut. Peningkatan pertumbuhan harus sekaligus juga memperbaiki berbagai kesenjangan dalam tingkat kesejahteraan antar golongan dan antar daerah. Terutama apabila sasaran pembangunan adalah sebagian besar penduduk berpendapatan rendah atau miskin yang terutama terkonsentrasi di sektor pertanian dan pedesaan. Pertumbuhan ekonomi, di satu pihak, dan pertumbuhan employment (kesempatan kerja) di sektor pertanian dan pedesaan yang menyerap sebagian besar angkatan kerja di lain pihak, bisa saja sebagai dua sisi mata uang yang sama. Perbaikan kesejahteraan itu sendiri sebagai upaya untuk menekan kesenjangan merupakan sumber pertumbuhan yang cukup potensial. Itulah hakikat dari demand approach.

Sumber kemiskinan antara lain adalah adanya bias dalam kebijaksanaan (misalnya Jazairy et.al., 1992). Penduduk miskin (terutama petani kecil dan buruh tani) tidak mampu lagi mempertahankan produktivitas sumberdaya alam yang dikuasainya (terutama lahan). Sebagian mereka yang kurang mampu keluar dari kesulitannya lalu merambah hutan dan menimbulkan kerusakan pada sistem penyangga kehidupan atau merusak lingkungan. Pengembangan agribisnis dan agro-industri yang meningkatkan kesejahteraan penduduk berpendapatan rendah dan tergolong miskin turut membantu dalam upaya pelestarian fungsi lingkungan hidup dengan mengurangi ketergantungan lahan.

Pengembangan usaha agribisnis berskala kecil sangat penting dan strategis ditinjau dari berbagai pemikiran di muka. Dewasa ini terdapat lebih dari 32 juta usaha kecil dengan volume usaha kurang dari Rp2 milyar rupiah per tahun; bahkan 90% diantaranya adalah usaha kecil-kecil dengan volume usaha kurang dari Rp50 juta rupiah per tahun. Selanjutnya dari yang 90% tersebut, lebih dari 21,30 juta unit usaha adalah usaha rumah tangga yang bergerak di sektor pertanian. Apabila disertakan dengan keluarganya, maka jumlah pengusaha kecil dengan anggota rumahtangganya bisa mencapai 80% dari penduduk Indonesia; suatu potensi pasar yang sangat besar.

Berbagai masalah dan kendala dihadapi oleh usaha kecil ini namun yang paling mendasar barangkali adalah lemahnya posisi-tawar mereka. Akibatnya mereka hanya bisa berusaha dalam kegureman (subsistem) dengan ruang pengambilan keputusan (decision space) yang sangat sempit.

Di masa depan, peranan agribisnis berskala kecil ini akan semakin penting dan memiliki keunggulan karena beberapa faktor (lihat Crawford, 1991: halaman 53) sebagai berikut.

1    relatif tidak memerlukan terlalu banyak modal investasi terutama bagi yang bergerak di bidang jasa-jasa;      
2    usaha agribisnis kecil dapat bergerak luwes menyesuaikan diri dalam situasi yang berubah karena tidak perlu terhambat oleh persoalan-persoalan birokrasi seperti yang dihadapi oleh perusahaan besar;      
3    usaha agribisnis kecil memiliki tenaga-tenaga penjualan dan wirausaha yang tertempa secara alami yang tidak berminat (vested-interest) dalam sistem produksi yang sudah ada dan sudah mantap; dan      
4    perubahan selera konsumen yang semakin bergeser dari produk-produk tahan lama yang dihasilkan secara masal ke produk-produk yang lebih manusiawi (personalized goods) yang lebih tepat untuk dilayani usaha-usaha kecil.   
Dilihat dari sistem pelayanan, secara khusus dari lembaga finansial dan perbankan dewasa ini di negara kita, beberapa faktor keunggulan usaha agribisnis kecil bisa juga tidak tercapai antara lain misalnya karena kurangnya akses usaha kecil terhadap kredit komersial perbankan. Ini baru satu dari sekian banyak masalah dan kendala yang dihadapi usaha kecil di tanah air. Masalah dan kendala lain yang tidak kalah penting adalah seperti pemasaran, alih teknologi, informasi dan sebagainya.

Kalau diperhatikan, maka adanya masalah dan kendala tersebut bermuara atau bersumber pada lemahnya posisi-tawar (bargaining position) dari usaha kecil. Lemahnya posisi tawar ini bisa terjadi karena: (i) usaha kecil yang terlalu kecil sehingga tidak memiliki atau tidak mampu menyimpan energy yang cukup untuk bergerak secara leluasa, lincah dan dengan stamina yang cukup dalam alam bisnisnya, serta (ii) kurang terorganisirnya gerakan-gerakan dan kegiatan-kegiatan usaha kecil tersebut.

Hal yang pertama menyangkut skala usaha minimal yang menyebabkan usaha kecil tersebut mampu melakukan akumulasi modal. Modal yang diakumulasi tersebut tentunya adalah sebagian dari nilai tambah (dalam porsi yang rasional atau optimal) yang diciptakan oleh usaha kecil tersebut. Jika begitu, maka skala usaha dari usaha-usaha kecil yang ada dewasa ini perlu ditingkatkan.

Di Amerika Serikat, batasan usaha kecil tersebut adalah aset kurang dari US $ 10 juta (atau sekitar Rp20 milyar) dengan pekerja kurang dari 500 orang (Crawford, 1991). Dengan batasan tersebut, jumlah usaha kecil yang terdapat di negara tersebut pada tahun 1989 adalah 19 juta unit; yang telah meningkat sebesar 50% dibandingkan dengan tahun 1980. Usaha-usaha kecil tersebut mempekerjakan 60% dari angkatan kerja di negara tersebut dengan sumbangannya terhadap GNP adalah sekitar 50%. Volume usaha dari usaha kecil Amerika Serikat ini sama besarnya dengan seluruh perekonomian Jepang (Crawford, 1991).

Dengan diskusi di muka maka makna strategis (the significance) pengembangan agribisnis dan agroindustri berskala kecil dapat dikemukakan sebagai berikut.

1    Apabila posisi-tawar usaha agribisnis kecil bisa diperbaiki maka pengembangan agribisnis/agroindustri bisa pula menjadi jalur pendemokrasian ekonomi. Di Indonesia, 21,30 juta usaha rumah tangga di sektor pertanian membentuk hampir seluruh angkatan kerja yang bekerja di sektor pertanian dengan nilai output primernya saja mencapai sekitar 15% dari PDB.      
2    Dalam lingkungan ekonomi yang demokratis, kebocoran ekonomi (economic loss) sangat minimal dibandingkan struktur ekonomi yang monopolistis oleh usaha yang besar-besar. Oleh sebab itu, pengembangan agribisnis berskala kecil "tidak anti pertumbuhan". Bahkan, dengan perbaikan pendapatan 21,30 juta usaha rumahtangga pertanian melalui pengembangan agribisnis dan agroindustri serta sepanjang nilai-tukar petani tidak semakin memburuk, maka laju pertumbuhan ekonomi bisa dipacu lebih tinggi lagi melalui peningkatan potensi pasar dalam negeri.      
3    Pengembangan agribisnis dan agroindustri berskala kecil relatif mudah untuk diarahkan bersahabat dengan lingkungan.   

0 comments:

Post a Comment

◄ Newer Post Older Post ►
 

Copyright 2012 Mathedu Unila is proudly powered by blogger.com | Design by Tutorial Blogspot