Kepemimpinan dan Sistem Politik Tradisional Papua
Sebenarnya perdebatan antara pemimpin desa dan kepala suku sudah berlangsung, sebab menurut Prof Dr Matulada pakar antropolog dari Universitas Hasanuddin Makassar bahwa ada dua aliran dalam masalah pedesaan ini. Aliran pertama adalah melihat "penyeragaman desa" sebagai upaya penanganan yang paling efektif. Sedangkan aliran kedua adalah yang melihat "keanekaragaman desa" sebagai pangkal pemahaman secara mendasar aspirasi masyarakat untuk berpartisipasi.Aliran pertama telah terkondisikan di Pulau Jawa, Madura dan Bali. Bahkan telah diterapkan juga di tanah Papua. Namun berkaitan dengan hal ini ada sesuatu yang seharusnya menjadi pertimbangan bagi pengambil keputusan/kebijakan yakni," hilangnya sifat khas kampung ynag tadinya beranekaragam" danakan tumbuhnya kekuatan sentrifugal yang akan membawa ancaman terhadap integrasi masyarakat yang bisa berkelanjutan pada rusaknya integrasi bangsa. Sebab penyeragaman pada hakekatnya dipandang sebagai paksaan dan mengundang keresahan. Karena itu menurut Matulada, penyeragaman semua lambang kampung menjadi asing dantidak memiliki nilai intrinsik dalam kebudayaan setempat. Kesan umum justru memperlihatkan penyragaman itu idnetik dengan proses Jawanisasi yang sebenarnya harus dipandangsebagai langkah yang tidak nasionalis (Kompas, 9 Juli 1992). Akibatnya semua kebijakan mengacu pada kondisi masyarakat Jawa yang tidak cocok dengan luar Jawa. Misalnya, pemerintahan daerah ditentukan oleh pusat. Sedangkan peranan daerah amat kecil. Padahal dalam kehidupan itu, keragaman tidak bisa ditolak bahkanditiadakan oleh pembangunan Indonesia sebelum ini.
Prof Dr Mursal Esten menambahkan masing-masing daerah jelas memiliki keragaman yang menuntut kebijakan yang khas pula dan tentu tidak disentralisasikan ( Kompas, 27 Nopember 1999).Pendapatsenada juga disampaikan tokoh masyarakat Dayak Stevanus Juweng dari Lembaga Dayakologi yang mengatakan bahwa penggusuran secara sistematis wilayah adat yang dibangun atas dasar kesatuan genealogis dan kemudian diganti dengan pembentukan desa secara administratif,bahkan di beberapa kampung adat digabungkan menjadi satu desa mengaburkan batas wilayah adat. Demikian pula status tanah adat dan hal ulayat. Akibatnya keberadaan hukumadat peserta pemuka adat direkayasa , dikikis dan sekaligus dimatikan peran sosial serta pengaruhnya oleh penguasa. Mereka yang layak menjadi kepala desa harus berpendidikan minimal sekolah dasar atau SD. Sehingga ini menutup peluang bagipemuka adat. Kriteria ikatansosial pun bukan lagi atas dasar keturunan tetapi lokasi desa. Pendek kata pembentukan desa gaya baru itu justru mengubah danmenghancurkan tata keidupanmasyarakat adat secara total (Kompas, 25 Okotber 1999). Padahal kalau mau dikajisecara mendalam, sebenarnya di Indonesia memiliki keragaman budaya yang sudah pasti mempunyaikeragaman kepemimpinan tradisonal.Menurut Dr JR Mansoben, MA dalam bukunya berjudul " Sistem Politik Tradisional di Irian Jaya (Papua) kepemimpinan bisa dibagi menjadi beberapa type yaitu :
1. Type Raja
Kerajaaan tradisional berdasarkan geografisnya terbagi dalam beberapa wilayah. Pertama Kepulauan Raja Ampat Sorong . Kedua wilayah semenanjung Onin dan ketiga Kowiai atau Namatota. Para pemimpin di pusat-pusat dan kepemimpinan ini biasanya dipanggil raja. Tetapi setiap wilayah mempunyai bahasa sendiri untuk menyebut raja-raja mereka. Di kepulauan Raja Ampat gelar seorang pemimpin adalah Fun atau kalana. Sedangkan di Onin disebut Rat,meskipun istilah umum orang lebih mengenal istilah Raja.
2. Tipe Pria Berwibawa (Big Man Leader)
Konsep pria berwibawa menurut pakar antropologi digunakan untuk menyebut para pemimpin politik tradisional di wilayah daerah-daerah kebudayaan Oseania, khususnya di Melanesia. Kepemimpinan ini bisa dilihat pada masyarakat Maybrat di Pusat Kepala Burung yaitu sistem politik Bobot. Orang-orang Me dengan sistem politik Tonowi. Orang-orang Muyu dengan sistem politik Kayepak. Ciri-ciri utama dari sistem kepemimpinann ini adalah melalui pencapaian (achievement) dan pewarisan kedudukan pemimpin (ascibed status). Sumber kekuasaan dari tipe politik ini yaitu kemampun individual yang diwujudkan dalam bentuk berhasil mengalokasikan dan mendistribusikan kekayaan, kemampuan berpidato dan berdiplomasi, serta keberanian pemimpin perang.
3. Kepala Suku ( Ondoafi)
Sistem politik Ondoafi terdapat pada bagin Timur Laut Provinsi Papua yaitu orang-orang Sentani, orang-orang Genyem (Nimboran), penduduk Teluk Humbold (Yos Sudarso), orang Tabla, orang Yaona, orang Yakari Skouw dan orang Arso Waris. Yang menjadi ciri utamanya yaitu pewarisan kedudukan dan birokrasi tradisional. Bedanya dari sistem kerajaan karena faktor-faktor teritorial dan orientasi politik. Artinya, ondoafi hanya terbatas pada satu yo atau kampung saja dan kesatuan sosialnya terdiri dari satu golongan atau sub golongan etnik saja.
4. Sistem Kepemimpinan Campuran
Kepemimpinan ini mempunyai ciri utama yaitu kedudukan pemimpin merupakan hasil pencapaian dan pewarisan. Artinya seseorang bisa menjadi pemimpin berdasarkan kemampuan individual, berprestasi dan keturunan. Pendukung sistem kepemimpinan campuran terdapat pada masyarakat Teluk Cenderawasih seperti orang-orang Biak, Wandamen, Waropen, Yawa dan Waya.Keempat ciri di atas merupakan gambaran bagaimana di tanah Papua ini terdapat beragam sistem pemerintahan tradisional yang sebenarnya perlu dikaji dan diterapkan dalam memacu pembangunan masyarakat di sini. Terutama sekali para pengambil kebijakan yang selalu tidak mau mendengar aspirasi masyarakat bawah. Misalnya pembagian wilayah dilakukan tanpa melihat batas-batas klen hingga tak heran kalau ada orang Muyu di Papua New Guinea (PNG) atau ada orang Irarutu di Kabupaten Fakfak dan Manokwari.
Sebenarnya perdebatan antara pemimpin desa dan kepala suku sudah berlangsung, sebab menurut Prof Dr Matulada pakar antropolog dari Universitas Hasanuddin Makassar bahwa ada dua aliran dalam masalah pedesaan ini. Aliran pertama adalah melihat "penyeragaman desa" sebagai upaya penanganan yang paling efektif. Sedangkan aliran kedua adalah yang melihat "keanekaragaman desa" sebagai pangkal pemahaman secara mendasar aspirasi masyarakat untuk berpartisipasi.Aliran pertama telah terkondisikan di Pulau Jawa, Madura dan Bali. Bahkan telah diterapkan juga di tanah Papua. Namun berkaitan dengan hal ini ada sesuatu yang seharusnya menjadi pertimbangan bagi pengambil keputusan/kebijakan yakni," hilangnya sifat khas kampung ynag tadinya beranekaragam" danakan tumbuhnya kekuatan sentrifugal yang akan membawa ancaman terhadap integrasi masyarakat yang bisa berkelanjutan pada rusaknya integrasi bangsa. Sebab penyeragaman pada hakekatnya dipandang sebagai paksaan dan mengundang keresahan. Karena itu menurut Matulada, penyeragaman semua lambang kampung menjadi asing dantidak memiliki nilai intrinsik dalam kebudayaan setempat. Kesan umum justru memperlihatkan penyragaman itu idnetik dengan proses Jawanisasi yang sebenarnya harus dipandangsebagai langkah yang tidak nasionalis (Kompas, 9 Juli 1992). Akibatnya semua kebijakan mengacu pada kondisi masyarakat Jawa yang tidak cocok dengan luar Jawa. Misalnya, pemerintahan daerah ditentukan oleh pusat. Sedangkan peranan daerah amat kecil. Padahal dalam kehidupan itu, keragaman tidak bisa ditolak bahkanditiadakan oleh pembangunan Indonesia sebelum ini.
Prof Dr Mursal Esten menambahkan masing-masing daerah jelas memiliki keragaman yang menuntut kebijakan yang khas pula dan tentu tidak disentralisasikan ( Kompas, 27 Nopember 1999).Pendapatsenada juga disampaikan tokoh masyarakat Dayak Stevanus Juweng dari Lembaga Dayakologi yang mengatakan bahwa penggusuran secara sistematis wilayah adat yang dibangun atas dasar kesatuan genealogis dan kemudian diganti dengan pembentukan desa secara administratif,bahkan di beberapa kampung adat digabungkan menjadi satu desa mengaburkan batas wilayah adat. Demikian pula status tanah adat dan hal ulayat. Akibatnya keberadaan hukumadat peserta pemuka adat direkayasa , dikikis dan sekaligus dimatikan peran sosial serta pengaruhnya oleh penguasa. Mereka yang layak menjadi kepala desa harus berpendidikan minimal sekolah dasar atau SD. Sehingga ini menutup peluang bagipemuka adat. Kriteria ikatansosial pun bukan lagi atas dasar keturunan tetapi lokasi desa. Pendek kata pembentukan desa gaya baru itu justru mengubah danmenghancurkan tata keidupanmasyarakat adat secara total (Kompas, 25 Okotber 1999). Padahal kalau mau dikajisecara mendalam, sebenarnya di Indonesia memiliki keragaman budaya yang sudah pasti mempunyaikeragaman kepemimpinan tradisonal.Menurut Dr JR Mansoben, MA dalam bukunya berjudul " Sistem Politik Tradisional di Irian Jaya (Papua) kepemimpinan bisa dibagi menjadi beberapa type yaitu :
1. Type Raja
Kerajaaan tradisional berdasarkan geografisnya terbagi dalam beberapa wilayah. Pertama Kepulauan Raja Ampat Sorong . Kedua wilayah semenanjung Onin dan ketiga Kowiai atau Namatota. Para pemimpin di pusat-pusat dan kepemimpinan ini biasanya dipanggil raja. Tetapi setiap wilayah mempunyai bahasa sendiri untuk menyebut raja-raja mereka. Di kepulauan Raja Ampat gelar seorang pemimpin adalah Fun atau kalana. Sedangkan di Onin disebut Rat,meskipun istilah umum orang lebih mengenal istilah Raja.
2. Tipe Pria Berwibawa (Big Man Leader)
Konsep pria berwibawa menurut pakar antropologi digunakan untuk menyebut para pemimpin politik tradisional di wilayah daerah-daerah kebudayaan Oseania, khususnya di Melanesia. Kepemimpinan ini bisa dilihat pada masyarakat Maybrat di Pusat Kepala Burung yaitu sistem politik Bobot. Orang-orang Me dengan sistem politik Tonowi. Orang-orang Muyu dengan sistem politik Kayepak. Ciri-ciri utama dari sistem kepemimpinann ini adalah melalui pencapaian (achievement) dan pewarisan kedudukan pemimpin (ascibed status). Sumber kekuasaan dari tipe politik ini yaitu kemampun individual yang diwujudkan dalam bentuk berhasil mengalokasikan dan mendistribusikan kekayaan, kemampuan berpidato dan berdiplomasi, serta keberanian pemimpin perang.
3. Kepala Suku ( Ondoafi)
Sistem politik Ondoafi terdapat pada bagin Timur Laut Provinsi Papua yaitu orang-orang Sentani, orang-orang Genyem (Nimboran), penduduk Teluk Humbold (Yos Sudarso), orang Tabla, orang Yaona, orang Yakari Skouw dan orang Arso Waris. Yang menjadi ciri utamanya yaitu pewarisan kedudukan dan birokrasi tradisional. Bedanya dari sistem kerajaan karena faktor-faktor teritorial dan orientasi politik. Artinya, ondoafi hanya terbatas pada satu yo atau kampung saja dan kesatuan sosialnya terdiri dari satu golongan atau sub golongan etnik saja.
4. Sistem Kepemimpinan Campuran
Kepemimpinan ini mempunyai ciri utama yaitu kedudukan pemimpin merupakan hasil pencapaian dan pewarisan. Artinya seseorang bisa menjadi pemimpin berdasarkan kemampuan individual, berprestasi dan keturunan. Pendukung sistem kepemimpinan campuran terdapat pada masyarakat Teluk Cenderawasih seperti orang-orang Biak, Wandamen, Waropen, Yawa dan Waya.Keempat ciri di atas merupakan gambaran bagaimana di tanah Papua ini terdapat beragam sistem pemerintahan tradisional yang sebenarnya perlu dikaji dan diterapkan dalam memacu pembangunan masyarakat di sini. Terutama sekali para pengambil kebijakan yang selalu tidak mau mendengar aspirasi masyarakat bawah. Misalnya pembagian wilayah dilakukan tanpa melihat batas-batas klen hingga tak heran kalau ada orang Muyu di Papua New Guinea (PNG) atau ada orang Irarutu di Kabupaten Fakfak dan Manokwari.
0 comments:
Post a Comment