Isu Jender Dalam Perundang-Undangan
Perjuangan emansipasi perempuan Indonesia yang sudah dimulai jauh sebelum Indonesia merdeka yang dipelopori oleh R.A. Kartini, dan perjuangannya kemudian mendapat pengakuan setelah Indoesia merdeka. Pengakuan itu tersirat dalam Pasal 27 U U D, 45 akan tetapi realisasi pengakuan itu belum sepenuhnya terlaksana dalam berbagai bidang kehidupan.
Hal ini jelas dapat diketahui dari produk peraturan perundangan-undangan yang masih mengandung isu gender di dalamnya, dan oleh karenannya masih terdapat diskriminasi terhadap perempuan. Contoh Undang-Undang No. 1 Tahun 1974, di mana seolah-olah undang-undang tersebut melindungi perempuan dengan mencantumkan asas monogami di satu sisi akan tetapi di sisi lain membolehkan bagi suami untuk berpoligami tanpa batas jumlah wanita yang boleh dikawin
Dalam membahas masalah diskriminasi terhadap perempuan maka yang dipakai sebagai dasar acuan adalah Ketentuan Pasal 1 U U No. 7 Tahun 1984, yang berbunyi sebagai berikut : Untuk tujuan konvensi yang sekarang ini, istilah “diskriminasi terhadap wanita” berarti setiap pembedaan, pengucilan atau pembatasan yang dibuat atas dasar jenis kelamin, yang mempunyai pengaruh atau tujuan untuk mengurangi atau menghapuskan pengakuan, penikmatan atau penggunaan hak-hak asasi manusia dan kebebasan-kebebasan pokok di bidang politik, ekonomi, sosial, budaya, sipil atau apapun lainnya oleh kaum wanita, terlepas dari status perkawinan mereka, atas dasar persamaan antara pria dan wanita.
Mencermati ketentuan Pasal 1 tersebut diatas maka istilah diskriminasi terhadap perempuan atau wanita adalah setiap pembedaan, pengucilan atau pembatasan atas dasar jenis kelamin maka terdapat peraturan perundang-undangan yang bias jender seperti Undang-Undang Perpajakan, Undang-Undang Perkawinan, dan lain-lainnya.
Salah satu produk peraturan perundang-undang yang diskriminatif terhadap perempuan adalah U U No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan. Undang-undang ini sudah berlaku kurang lebih 30 tahun dan banyak mengandung kelemahan karena bersifat diskriminatif dan bias gender terhadap perempuan.
Undang-Undang ini terdiri dari 67 pasal, dari 67 pasal ada beberapa pasal yang secara nyata bias gender dan bersifat diskriminatif terhadap perempuan. Adapun pasal-pasal dimaksud antara lain:
1).Pasal 3 (2), Pasal 4, Pasal 5, tentang ketentuan poligami.
2).Pasal 7 (1) mengenai ketentuan umur 16 tahun bagi perempuan dan 19 tahun bagi laki-laki.
3).Pasal 11 mengenai ketentuan waktu tunggu bagi wanita yaitu janda mati 120 hari dan janda cerai 90 hari.
4).Pasal 31 (3) mengenai ketenuan suami kepala rumah tangga dan istri ibu rumah tangga.
5).Pasal 34 (1,2) mengenai ketentuan yang memposisikan istri sangat lemah dan sub-ordinasi.
6).Pasal 41 (b.c) mengenai ketentuan istri/wanita diposisikan lemah dan sub-ordinasi.
7).Pasal 44 (1) mengenai ketentuan penyangkalan anak.
Mencermati ketentuan pasal-pasal tersebut diatas adalah jelas telah terjadi ketidak adilan hukum dan ketidak adilan gender terhadap perempuan karena perempuan selalu diposisikan pada posisi yang lemah dan sub-ordinasi sehingga tetap terjadi diskriminasi terhadap kaum perempuan.
Di samping itu undang-undang yang bias gender adalah undang-undang perpajakan di mana salah satu pasalnya menyebutkan bahwa perempuan yang telah bersuami tidak sebagai wajib pajak. Akan tetapi kalau diperhatikan kenyataannya banyak perempuan dalam hal ini istri yang berpenghasilan lebih banyak dari pada suami dan ini juga akibat adanya pengaruh budaya patriarki.
Oleh karena demikian dalam hukum pajakpun telah terjadi ketidakadilan hukum dan ketidak adilan gender di dalamnya.
Dalam kaitan itu Yanti Muchtar menguraikan bahwa telah terjadi bias gender dan hukum dalam pelaksanaan program Keluarga Berencana (KB) oleh karena dalam penggunaan alat-alat keluarga berencana ( KB ) lebih banyak memakai organ tubuh perempuan sebagai obyek bila dibandingakan dengan organ tubuh laki-laki.
Hal tersebut disebabkan adanya pengaruh budaya patriarki yang mempengaruhi segala aktifitas laki-laki baik sebagai individu maupun sebagai kelompok masyarakat termasuk dalam aktifitasnya membuat aturan-aturan hukum. Oleh karena yang membuat peraturan hukum itu adalah masyarakat ( laki-laki ) maka sering produk yang dihasilkan tidak menunjukan kesetaraan dan keadilan gender.
0 comments:
Post a Comment