Berpolitik tanpa Etika.
Oyos Saroso H.N.
Jurnalis, penggiat Lampung Media Center (LMC)
Akhir-akhir ini publik sering diberi tontonan cukup mencengangkan: para elite parpol yang berbasis agama saling berebut kursi pimpinan dengan kekerasan. Mula-mula publik heran. Tetapi, karena sering terjadi, lama-kelamaan jadi terbiasa.
Di Lampung, kita juga disuguhi tontonan menarik: sebuah partai besar sangat gampang membongkar-pasang pemimpin partai di tingkat dua (kabupaten/kota) dengan modus nyaris sama: mosi tidak percaya dari pengurus di tingkat kelurahan/kecamatan.
Jatuhnya seorang pemimpin partai, baik karena kasus maupun rekayasa, justru menjadi berkah bagi para kolega satu partai. Di situlah terdapat kesempatan untuk merebut jabatan. Maka, olok-olok dengan aforisme yang tak indah pun sering terdengar: "Kalau mau jadi orang partai, cantelkan dulu hati nurani di kapstok!"
Bersaing untuk berebut pengaruh dan kekuasaan adalah hal yang wajar dalam politik. Namun, obsesi yang berlebihan untuk meraih kekuasaan itu acap menjauhkan para politikus dari prinsip-prinsip etika politik dasar.
Etika atau atau filsafat moral bertujuan menerangkan kebaikan dan kejahatan. Etika politik bertujuan mendedahkan mana tingkah laku politik yang baik dan sebaliknya. Standar baik atau buruk bukan atas dasar agama atau bangsa tertentu, tetapi dalam konteks etika: bagaimana politik diarahkan untuk memajukan kepentingan umum. Dengan demikian, perilaku politik yang mengarah pada kepentingan yang sangat pribadi atau untuk golongan/tertentu merupakan ciri-ciri etika politik yang buruk.
Berbicara soal etika politik, lagi-lagi, kita sering terjebak pada sekadar perilaku politikus yang berdiri sendiri. Padahal, perilaku politikus hanya salah satu dari dimensi etika politik yang bersifat individual. Ia sejatinya juga terkait dengan etika sosial dan etika institusional. Seorang politikus yang memiliki latar belakang pendidikan agama dan moral yang bagus, tidak ada jaminan ketika masuk ke sebuah lembaga tertentu akan terus menjadi baik.
Kalau politikus bersih dan taat beribadah bisa menjalankan etika politik dengan moralitas yang otonom, logikanya tak akan terjadi premanisme, korupsi, dan manipulasi di dunia politik. Hal yang sama juga berlaku di dunia birokrasi. Namun, kenyataan sering menunjukkan bahwa kesalehan pribadi tidak berbanding lurus dengan tuntutan lembaga. Makanya, saat Transparency International Indonesia melansir legislatif sebagai lembaga terkorup (berdasarkan persepsi masyarakat) publik tak perlu tercengang.
Seperti bersetuju dengan konsep "Ubermensch"-nya Nietzsche, semua politikus dan pejabat eksekutif kini berlomba-lomba menjadi manusia unggul. Manusia unggul itu identik dengan kekuasaan. Kehendak untuk berkuasa pun tidak sekadar wacana yang dibangun dari aforisma indah, tetapi menjadi kenyataan hidup sehari-hari manusia Indonesia di zaman reformasi. Bahkan, orang Indonesia yang dulunya alergi politik dan hanya menekuni bisnis pun tiba-tiba lari ke dunia politik. Itu dimungkinkan karena kini semua orang punya kesempatan sama. Tidak begitu penting apakah dulu ketika mahahasiswa bersimbah darah dan peluh mereka juga sedang berjuang bersama rakyat atau hanya jadi penonton.
Selama ini etika politik bersifat sangat umum dan luas dan biasanya dibentuk karena diperlukan sebagai batasan perilaku atau tindakan yang tidak diatur dalam peraturan legal-formal. Dengan demikian, bersifat konvensi dan berupa aturan moral. Karena bersifat umum dan luas, akibatnya sifatnya pun jadi kendor. Di lembaga eksekutif misalnya, secara formal dibentuk Dewan Etik atau Badan Kehormatan DPR/DPRD, tetapi prakteknya justru kerap sebagai kamuflase untuk melindungi korps.
Kasus pemalsuan tanda tangan Ketua DPRD Bandar Lampung untuk pembangunan kamar hotel di Restoran Bukit Randu memperjelas argumen ini.
Karena bersifat umum dan luasnya cakupan, etika politik sering dengan mudah diabaikan oleh orang yang terikat etika politik dengan tanpa rasa malu dan bersalah. Alhasil, melanggar etika politik pun dianggap sebagai kewajaran, sebagaimana mereka juga dianggap wajar menerima "upah pungut" untuk setiap pencairan dana proposal yang masuk ke lembaga pemerintah.
Anggota Dewan menjadi makelar proposal jelas pelanggaran berat etika politik. Namun, adakah yang mau peduli?
Dahaga rakyat kecil akan lahirnya pemimpin yang baik, jujur, dan bisa membawa mereka kepada kesejahteraan dan keadilan ternyata hingga kini belum juga terwujud. Era reformasi yang dulu diyakini sebagai harapan berkembangnya demokrasi, good governance, dan kemakmuran ternyata hanya baru dalam tahap melahirkan pemimpin-pemimpin lokal baru dan pemimpin-pemimpin politik baru.
Dua kali pemilu di era reformasi (Pemilu 1999 dan Pemilu 2004, sekali pilkada) membuktikan bahwa gairah berdemokrasi secara fair justru ditunjukkan oleh rakyat biasa. Ketika hari pencoblosan digelar, mereka berbondong-bondong mendatangi bilik suara untuk menentukan pilihannya. Namun, tak lama kemudian mereka pun kecewa ketika merasakan pilihannya tidak berdampak apa pun bagi dirinya. Keadaan tetap sama saja.
Yang terjadi kemudian, justru terjadi desentralisasi korupsi. Pendidikan politik pun akhirnya menjadi barang mewah yang hanya bisa dijumpai menjelang pemilu.
Ketika rakyat hanya dianggap sebagai angka-angka dan yang hanya dibutuhkan pada saat untuk mendongkrak kursi kekuasaan, kita sulit membuat sekadar gambar kasar tentang seperti apa gerangan "homo politicus Lampungensis". Ia atau mereka, tetap sama dengan makhluk politik lain di Indonesia yang mudah mengubah cita-cita bersama menjadi cita-cita pribadi atau kelompok.
Dalam situasi seperti inilah, saya sering merindukan "orang gila" menjadi gubernur, bupati, wali kota, politisi, atau anggota Dewan. Yaitu, orang baik hati yang setiap langkahnya dilandasi pemikiran untuk kepentingan rakyat banyak. Hanya di tangan "orang gila" lingkaran setan korupsi dan ketidakadilan-sosial bisa diperbaiki.(lampost)
0 comments:
Post a Comment