Membangun karakter
Kita tidak perlu mengingkari bahwa rusaknya karakter bangsa mungkin secara tidak langsung disebabkan oleh krisis, tetapi bahwa akar permasalahannya ada pada diri manusia Indonesia itu sendiri. Bukan tidak mungkin apa yang telah kita lakukan selama ini juga merupakan penunjang dari "hilang"-nya jati diri dan rusaknya karakter bangsa. Apabila kita cermati, ternyata sejak 60 tahun terakhir, di Indonesia tidak lagi dilakukan apa yang disebut membangun karakter, bahkan cenderung diabaikan.
Ada suatu premis di dalam character building yang mengatakan bahwa character building is a never ending process, yang artinya bahwa pembangunan karakter dilakukan sejak kita masih berupa janin di dalam kandungan sampai saat kita menutup usia. Oleh karena itu, pembangunan karakter dalam kehidupan kita dapat dibagi dalam tiga tahapan pembangunan karakter, yaitu pada usia dini (tahap pembentukan), usia remaja (tahap pengembangan), dan saat dewasa (tahap pemantapan).
Pembentukan karakter pada usia dini sangat krusial dan berarti sangat fundamental karena di sinilah paling tidak ada empat koridor yang perlu dilakukan, yaitu menanam tata nilai, menanam yang "boleh dan tidak boleh" (the does and the don’t), menanam kebiasaan, serta memberi teladan.
Keempat koridor ini dimaksudkan untuk mentransformasikan tata nilai dan membentuk karakter anak pada usia dini sehingga tidak mungkin hanya dilakukan oleh seorang pembantu. Ironisnya, dalam kehidupan modern ini, pembantu justru menjadi lingkungan (pengaruh) terdekat selama paling tidak 12 jam sehari dan lima hari seminggu. Maka, kita tidak perlu sakit hati bila muncul cibiran yang mengatakan bahwa karakter anak-anak kita justru lebih mirip dengan karakter pembantu.
Kondisi pendidikan formal di negeri juga tak kalah runyamnya. Anak didik kita lebih sebagai "kelinci percobaan" bagi berbagai eksperimen kebijakan ketimbang sebagai anak bangsa yang harus dikembangkan karakternya.
Pembangunan karakter harus dilanjutkan pada tahap pengembangan pada usia remaja. Sayangnya, lingkungan dan kondisi masyarakat kita sangat tidak kondusif untuk mencapai tujuan pembangunan karakter. Hal ini dapat kita kaji lewat keempat koridor tadi.
Koridor tata nilai: berubahnya orientasi tata dari idealisme, harga diri, dan kebanggaan, menjadi orientasi pada uang, materi, duniawi, dan hal-hal yang sifatnya hedonistis.
Dalam koridor the does and the don’t belum terdapat adanya good governance dan good coorporate governance serta law enforcement yang memadai sehingga terdapat cukup banyak celah yang masih dimungkinkan untuk tidak menuju pembentukan karakter yang diharapkan. Dalam koridor kebiasaan, masih cukup banyak dikembangkan kebiasaan-kebiasaan yang salah, seperti tidak menepati waktu, ingkar janji, saling menyalahkan, dan mengelak tanggung jawab. Dalam koridor memberi teladan, ternyata dalam kehidupan bermasyarakat kita masih sangat langka adanya teladan.
Lemahnya kondisi sosial masyarakat yang mendukung tahap pengembangan menyebabkan terganggunya tahap pemantapan. Apa yang akan dimantapkan jika dalam tahap pembentukan dan pengembangan yang tumbuh adalah low trust society (masyarakat yang saling tidak memercayai, tidak ada saling menghargai) yang menunjukkan tidak terbangunnya karakter secara baik dalam kehidupan kita berbangsa dan bernegara.
Perlu diingat, sebuah bangsa akan maju dan jaya bukan disebabkan oleh kekayaan alam, kompetensi, ataupun teknologi canggihnya, tetapi karena dorongan semangat dan karakter bangsanya. Dalam hal ini contohnya antara lain di Jepang, Korea Selatan, Inggris, dan sebentar lagi di Vietnam. Atau, dapat disimpulkan bahwa bangsa yang didorong oleh karakter bangsanya akan menjadi bangsa yang maju dan jaya. Sementara bangsa yang kehilangan karakter bangsanya akan sirna dari muka bumi.
Kita tidak perlu mengingkari bahwa rusaknya karakter bangsa mungkin secara tidak langsung disebabkan oleh krisis, tetapi bahwa akar permasalahannya ada pada diri manusia Indonesia itu sendiri. Bukan tidak mungkin apa yang telah kita lakukan selama ini juga merupakan penunjang dari "hilang"-nya jati diri dan rusaknya karakter bangsa. Apabila kita cermati, ternyata sejak 60 tahun terakhir, di Indonesia tidak lagi dilakukan apa yang disebut membangun karakter, bahkan cenderung diabaikan.
Ada suatu premis di dalam character building yang mengatakan bahwa character building is a never ending process, yang artinya bahwa pembangunan karakter dilakukan sejak kita masih berupa janin di dalam kandungan sampai saat kita menutup usia. Oleh karena itu, pembangunan karakter dalam kehidupan kita dapat dibagi dalam tiga tahapan pembangunan karakter, yaitu pada usia dini (tahap pembentukan), usia remaja (tahap pengembangan), dan saat dewasa (tahap pemantapan).
Pembentukan karakter pada usia dini sangat krusial dan berarti sangat fundamental karena di sinilah paling tidak ada empat koridor yang perlu dilakukan, yaitu menanam tata nilai, menanam yang "boleh dan tidak boleh" (the does and the don’t), menanam kebiasaan, serta memberi teladan.
Keempat koridor ini dimaksudkan untuk mentransformasikan tata nilai dan membentuk karakter anak pada usia dini sehingga tidak mungkin hanya dilakukan oleh seorang pembantu. Ironisnya, dalam kehidupan modern ini, pembantu justru menjadi lingkungan (pengaruh) terdekat selama paling tidak 12 jam sehari dan lima hari seminggu. Maka, kita tidak perlu sakit hati bila muncul cibiran yang mengatakan bahwa karakter anak-anak kita justru lebih mirip dengan karakter pembantu.
Kondisi pendidikan formal di negeri juga tak kalah runyamnya. Anak didik kita lebih sebagai "kelinci percobaan" bagi berbagai eksperimen kebijakan ketimbang sebagai anak bangsa yang harus dikembangkan karakternya.
Pembangunan karakter harus dilanjutkan pada tahap pengembangan pada usia remaja. Sayangnya, lingkungan dan kondisi masyarakat kita sangat tidak kondusif untuk mencapai tujuan pembangunan karakter. Hal ini dapat kita kaji lewat keempat koridor tadi.
Koridor tata nilai: berubahnya orientasi tata dari idealisme, harga diri, dan kebanggaan, menjadi orientasi pada uang, materi, duniawi, dan hal-hal yang sifatnya hedonistis.
Dalam koridor the does and the don’t belum terdapat adanya good governance dan good coorporate governance serta law enforcement yang memadai sehingga terdapat cukup banyak celah yang masih dimungkinkan untuk tidak menuju pembentukan karakter yang diharapkan. Dalam koridor kebiasaan, masih cukup banyak dikembangkan kebiasaan-kebiasaan yang salah, seperti tidak menepati waktu, ingkar janji, saling menyalahkan, dan mengelak tanggung jawab. Dalam koridor memberi teladan, ternyata dalam kehidupan bermasyarakat kita masih sangat langka adanya teladan.
Lemahnya kondisi sosial masyarakat yang mendukung tahap pengembangan menyebabkan terganggunya tahap pemantapan. Apa yang akan dimantapkan jika dalam tahap pembentukan dan pengembangan yang tumbuh adalah low trust society (masyarakat yang saling tidak memercayai, tidak ada saling menghargai) yang menunjukkan tidak terbangunnya karakter secara baik dalam kehidupan kita berbangsa dan bernegara.
Perlu diingat, sebuah bangsa akan maju dan jaya bukan disebabkan oleh kekayaan alam, kompetensi, ataupun teknologi canggihnya, tetapi karena dorongan semangat dan karakter bangsanya. Dalam hal ini contohnya antara lain di Jepang, Korea Selatan, Inggris, dan sebentar lagi di Vietnam. Atau, dapat disimpulkan bahwa bangsa yang didorong oleh karakter bangsanya akan menjadi bangsa yang maju dan jaya. Sementara bangsa yang kehilangan karakter bangsanya akan sirna dari muka bumi.
0 comments:
Post a Comment