Hal-hal yang dilarang dalam istinja`(BAB):
Hal-hal yang dilarang dalam istinja` atau Buang Air Besar:
1). Dimakruhkan berbicara dengan pembicaraan yang berhubungan dengan keagamaan. Hal ini berdasarkan keumuman firman Allah Ta’ala, “Demikianlah bagi yang memuliakan syiar-syiar Allah, maka itu termasuk dari ketakwaan hati.” (QS. Al-Hajj: 22) Juga ada seorang sahabat yang pernah memberi salam kepada Nabi -shallallahu alaihi wasallam- dalam keadaan beliau kencing, maka beliau tidak menjawab salamnya (HR. Muslim dari Ibnu Umar) Maka ini menunjukkan makruhnya hal tersebut, dan ini merupakan pendapat Ibnu Abbas, Ma’bad Al-Jubani, Atha` dan Mujahid. Ikrimah berkata, “Jangan dia berzikir dengan lisannya di dalam wc, akan tetapi dengan hatinya.” Lihat: Nailul Authar (1/91-92) dan Asy-Syarhul Mumti’ (1/117-118)
2). Berdasarkan dalil-dalil di atas, maka dimakruhkan juga membawa mushaf atau buku atau yang semisalnya, kalau di dalamnya terdapat ayat Al-Qur`an atau zikir kepada Allah.
3). Diharamkan menghadap dan membelakangi kiblat (Ka’bah) dalam buang air secara mutlak, baik di luar bangunan maupun di dalam bangunan. Nabi -shallallahu alaihi wasallam- bersabda, “Kalau kalian mendatangi wc, maka janganlah kalian menghadap kiblat dalam buang air besar dan kencing, dan jangan pula membelakanginya.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim dari Abu Ayyub) Dan dalam hadits Salman, “Rasulullah melarang kami untuk menghadap kiblat ketika buang air besar dan kencing”. Ini adalah pendapat Abu Ayyub Al-Anshari, Abu Hurairah, Ibnu Mas’ud dan Suraqah bin Malik dari kalangan sahabat, dan juga pendapat Mujahid, Ibrahim An-Nakhai, Ats-Tsauri, Abu Tsaur, Ahmad -dalam sebuah riwayat-, Atha`, Al-Auzai dan selainnya. Dan inilah yang dikuatkan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiah, Asy-Syaukani dalam An-Nail dan Al-Albani dalam Tamamul Minnah.
Adapun keberadaan Ibnu Umar -secara tidak sengaja- melihat Nabi -shallallahu alaihi wasallam- buang air sambil membelakangi kiblat, maka ketidaksengajaan tersebut menunjukkan bahwa beliau -shallallahu alaihi wasallam- melakukan hal tersebut bukan untuk dicontoh dan tidak ingin diketahui oleh siapa pun, sehingga perbuatan membelakangi Ka’bah ketika buang air adalah khususiah (kekhususan) beliau yang tidak boleh dicontoh oleh umatnya. Berbeda halnya ketika beliau melarang kencing berdiri lalu beliau ’sengaja’ memperlihatkan kepada Huzaifah kalau beliau kencing berdiri, maka ini bertujuan untuk dicontoh sehingga kencing berdiri ini bukanlah kekhususan beliau.
Di antara dalil yang menguatkan pendapat ini adalah sabda Nabi -shallallahu alaihi wasallam-, “Barangsiapa yang meludah ke arah kiblat maka dia datang pada hari kiamat dalam keadaan ludahnya berada di antara kedua matanya”. (Lihat Ash-Shahihah no. 222, 223) Kalau meludah ke arah kiblat di dalam bangunan (masjid dan selainnya) saja diharamkan, maka bukankah buang air menghadap kiblat di dalam ruangan -apalagi diluar- lebih pantas untuk diharamkan?! Berfikirlah wahai orang-orang yang mempunyai hari nurani.
Lihat pembahasan lengkap dan bantahan kepada yang membedakan antara dalam bangunan dengan di luar bangunan dalam: Nailul Authar (1/95-99), Sailul Jarrar (1/69), Tamamul Minnah (hal. 59-60) dan Asy-Syarhul Mumti’ (1/125-126) Dan lihat juga masalah hukum melakukan jima’ menghadap dan membelakangi kiblat dalam Ihkamul Ahkam (hal. 44, 46-47).
5). Diharamkan memegang kemaluan (qubul dan dubur) dengan tangan kanan saat buang air. Dari Abu Qatadah “Jangan sekali-kali salah seorang di antara kalian menyentuh kemaluannya dengan tangan kanannya ketika dia kencing dan jangan dia berbersih dengan tangan kanannya.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim).
Sebagian ulama mengatakan: Kalau memegang kemaluan dengan tangan kanan ketika kencing saja dilarang -padahal kadang diperlukan untuk menyentuhnya dengan tangan kanan-, maka ini menunjukkan menyentuh kemaluan dengan tangan kanan itu terlarang walaupun tidak sedang kencing. Pemahaman ini didukung oleh ucapan sahabat Utsman dan Imran bin Al-Hushain, “Saya tidak pernah menyentuh kemaluanku dengan tangan kanan semenjak saya membaiat Rasulullah.”Lihat Al-Isyraf (1/175) dan Al-Mumti” (1/121-122)
6). Tempat-tempat yang diharamkan buang air
Pada dasarnya semua tempat yang kalau seseorang buang air di situ akan mengganggu orang lain -apalagi kaum muslimin-, maka buang air di situ adalah diharamkan. Hal ini berdasarkan keumuman firman Allah Ta’ala, “Sesungguhnya orang-orang yang mengganggu kaum mukminin dan mukminah tanpa kesalahan yang mereka perbuat, maka sungguh mereka telah menanggung kedustaan dan dosa yang nyata.” (QS. Al-Ahzab: 58) Akan tetapi dalam beberapa hadits ada penyebutan beberapa tempat yang terlarang buang, seperti: Di jalan, tempat berteduh, tempat berkumpulnya air (HR. Abu Daud dari Muaz), di air yang diam dan tidak mengalir (HR. Al-Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah), tempat/kolam mandi (HR. Abu Daud), di lobang (HR. Ahmad dan Abu Daud dari Ibnu Sirjis) dan di bejana -kecuali kalau ada uzur seperti sakit dan selainnya-, sebagaimana dalam hadits Aisyah yang diriwayatkan oleh An-Nasai.
6). Dimakruhkan berdiam terlalu lama di dalam wc setelah selesainya hajat. Hal itu karena wc merupakan tempat hadirnya setan-setan dan itu merupakan perbuatan membuka aurat tanpa ada keperluan.
Ada seseorang yang pernah bertanya kepada Nabi -shallallahu alaihi wasallam- tentang membuka aurat dalam keadaan sendiri maka beliau bersabda, “Allah -Tabaraka wa Ta’ala lebih berhak untuk kamu malu kepada-Nya”. (HR. Abu Daud dari Muawiah bin Haidah), bahkan Allah Ta’ala berfirman”Katakan kepada kaum mukminin agar mereka menundukkan pandangan mereka dan menjaga kemaluan mereka”. (QS. An-Nur: 30) Lihat Al-Mumtia’ (1/126)
Hal-hal yang dilarang dalam istinja` atau Buang Air Besar:
1). Dimakruhkan berbicara dengan pembicaraan yang berhubungan dengan keagamaan. Hal ini berdasarkan keumuman firman Allah Ta’ala, “Demikianlah bagi yang memuliakan syiar-syiar Allah, maka itu termasuk dari ketakwaan hati.” (QS. Al-Hajj: 22) Juga ada seorang sahabat yang pernah memberi salam kepada Nabi -shallallahu alaihi wasallam- dalam keadaan beliau kencing, maka beliau tidak menjawab salamnya (HR. Muslim dari Ibnu Umar) Maka ini menunjukkan makruhnya hal tersebut, dan ini merupakan pendapat Ibnu Abbas, Ma’bad Al-Jubani, Atha` dan Mujahid. Ikrimah berkata, “Jangan dia berzikir dengan lisannya di dalam wc, akan tetapi dengan hatinya.” Lihat: Nailul Authar (1/91-92) dan Asy-Syarhul Mumti’ (1/117-118)
2). Berdasarkan dalil-dalil di atas, maka dimakruhkan juga membawa mushaf atau buku atau yang semisalnya, kalau di dalamnya terdapat ayat Al-Qur`an atau zikir kepada Allah.
3). Diharamkan menghadap dan membelakangi kiblat (Ka’bah) dalam buang air secara mutlak, baik di luar bangunan maupun di dalam bangunan. Nabi -shallallahu alaihi wasallam- bersabda, “Kalau kalian mendatangi wc, maka janganlah kalian menghadap kiblat dalam buang air besar dan kencing, dan jangan pula membelakanginya.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim dari Abu Ayyub) Dan dalam hadits Salman, “Rasulullah melarang kami untuk menghadap kiblat ketika buang air besar dan kencing”. Ini adalah pendapat Abu Ayyub Al-Anshari, Abu Hurairah, Ibnu Mas’ud dan Suraqah bin Malik dari kalangan sahabat, dan juga pendapat Mujahid, Ibrahim An-Nakhai, Ats-Tsauri, Abu Tsaur, Ahmad -dalam sebuah riwayat-, Atha`, Al-Auzai dan selainnya. Dan inilah yang dikuatkan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiah, Asy-Syaukani dalam An-Nail dan Al-Albani dalam Tamamul Minnah.
Adapun keberadaan Ibnu Umar -secara tidak sengaja- melihat Nabi -shallallahu alaihi wasallam- buang air sambil membelakangi kiblat, maka ketidaksengajaan tersebut menunjukkan bahwa beliau -shallallahu alaihi wasallam- melakukan hal tersebut bukan untuk dicontoh dan tidak ingin diketahui oleh siapa pun, sehingga perbuatan membelakangi Ka’bah ketika buang air adalah khususiah (kekhususan) beliau yang tidak boleh dicontoh oleh umatnya. Berbeda halnya ketika beliau melarang kencing berdiri lalu beliau ’sengaja’ memperlihatkan kepada Huzaifah kalau beliau kencing berdiri, maka ini bertujuan untuk dicontoh sehingga kencing berdiri ini bukanlah kekhususan beliau.
Di antara dalil yang menguatkan pendapat ini adalah sabda Nabi -shallallahu alaihi wasallam-, “Barangsiapa yang meludah ke arah kiblat maka dia datang pada hari kiamat dalam keadaan ludahnya berada di antara kedua matanya”. (Lihat Ash-Shahihah no. 222, 223) Kalau meludah ke arah kiblat di dalam bangunan (masjid dan selainnya) saja diharamkan, maka bukankah buang air menghadap kiblat di dalam ruangan -apalagi diluar- lebih pantas untuk diharamkan?! Berfikirlah wahai orang-orang yang mempunyai hari nurani.
Lihat pembahasan lengkap dan bantahan kepada yang membedakan antara dalam bangunan dengan di luar bangunan dalam: Nailul Authar (1/95-99), Sailul Jarrar (1/69), Tamamul Minnah (hal. 59-60) dan Asy-Syarhul Mumti’ (1/125-126) Dan lihat juga masalah hukum melakukan jima’ menghadap dan membelakangi kiblat dalam Ihkamul Ahkam (hal. 44, 46-47).
5). Diharamkan memegang kemaluan (qubul dan dubur) dengan tangan kanan saat buang air. Dari Abu Qatadah “Jangan sekali-kali salah seorang di antara kalian menyentuh kemaluannya dengan tangan kanannya ketika dia kencing dan jangan dia berbersih dengan tangan kanannya.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim).
Sebagian ulama mengatakan: Kalau memegang kemaluan dengan tangan kanan ketika kencing saja dilarang -padahal kadang diperlukan untuk menyentuhnya dengan tangan kanan-, maka ini menunjukkan menyentuh kemaluan dengan tangan kanan itu terlarang walaupun tidak sedang kencing. Pemahaman ini didukung oleh ucapan sahabat Utsman dan Imran bin Al-Hushain, “Saya tidak pernah menyentuh kemaluanku dengan tangan kanan semenjak saya membaiat Rasulullah.”Lihat Al-Isyraf (1/175) dan Al-Mumti” (1/121-122)
6). Tempat-tempat yang diharamkan buang air
Pada dasarnya semua tempat yang kalau seseorang buang air di situ akan mengganggu orang lain -apalagi kaum muslimin-, maka buang air di situ adalah diharamkan. Hal ini berdasarkan keumuman firman Allah Ta’ala, “Sesungguhnya orang-orang yang mengganggu kaum mukminin dan mukminah tanpa kesalahan yang mereka perbuat, maka sungguh mereka telah menanggung kedustaan dan dosa yang nyata.” (QS. Al-Ahzab: 58) Akan tetapi dalam beberapa hadits ada penyebutan beberapa tempat yang terlarang buang, seperti: Di jalan, tempat berteduh, tempat berkumpulnya air (HR. Abu Daud dari Muaz), di air yang diam dan tidak mengalir (HR. Al-Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah), tempat/kolam mandi (HR. Abu Daud), di lobang (HR. Ahmad dan Abu Daud dari Ibnu Sirjis) dan di bejana -kecuali kalau ada uzur seperti sakit dan selainnya-, sebagaimana dalam hadits Aisyah yang diriwayatkan oleh An-Nasai.
6). Dimakruhkan berdiam terlalu lama di dalam wc setelah selesainya hajat. Hal itu karena wc merupakan tempat hadirnya setan-setan dan itu merupakan perbuatan membuka aurat tanpa ada keperluan.
Ada seseorang yang pernah bertanya kepada Nabi -shallallahu alaihi wasallam- tentang membuka aurat dalam keadaan sendiri maka beliau bersabda, “Allah -Tabaraka wa Ta’ala lebih berhak untuk kamu malu kepada-Nya”. (HR. Abu Daud dari Muawiah bin Haidah), bahkan Allah Ta’ala berfirman”Katakan kepada kaum mukminin agar mereka menundukkan pandangan mereka dan menjaga kemaluan mereka”. (QS. An-Nur: 30) Lihat Al-Mumtia’ (1/126)
0 comments:
Post a Comment