Wednesday, October 14, 2009

Daya Saing Industri

Daya Saing Industri

Daya saing telah dan akan terus menjadi topik diskusi yang menarik di kalangan ekonom, pelaku bisnis, dan politisi. Boleh dikata “peningkatan daya saing” telah menjadi kata kunci yang sering didendangkan dalam setiap seminar, temu usaha, maupun pidato para pejabat. Ia menjadi obsesi semua orang. Ironisnya, konsepsi mengenai daya saing sering kali kabur dan disalahartikan. Banyak yang mengartikan bahwa daya saing negara sama dengan daya saing produk maupun daya saing perusahaan. Daya saing negara Indonesia makin merosot dari tahun ke tahun dan berada dalam peringkat papan bawah dari sampel negara yang diteliti setiap tahun. Begitu dilaporkan oleh World Competitiveness Report dan Global Competitiveness Report dalam laporan tahunannya selama 7 tahun terakhir (IMD, 2007; World Economic Forum, 2006). Padahal suatu perusahaan yang menghasilkan produk yang memiliki daya saing belum tentu memiliki daya saing untuk semua produk yang dihasilkannya. Demikian juga bila sejumlah perusahaan di suatu negara memiliki daya saing yang tinggi, belum tentu seluruh perusahaan di negara tersebut memiliki daya saing yang tinggi.

 Oleh karena itu, beberapa ekonom menentang konsep yang mengatakan bahwa negara bersaing di pasar global persis sama dengan yang dilakukan oleh perusahaan. Paul Krugman berada pada jajaran paling depan di antara para ekonom yang berpendapat bahwa daya saing suatu negara tidak identik dengan daya saing perusahaan/produk. Ia pernah memperingatkan, jargon 'peningkatan daya saing' merupakan obsesi yang berbahaya (Krugman, 1994). Ada setidaknya dua alasan: Pertama, dalam realitas, yang bersaing bukan negara, tetapi perusahaan dan industri. Kebanyakan orang menganalogkan daya saing negara identik dengan daya saing perusahaan. Bila negara Indonesia memiliki daya saing, belum tentu seluruh perusahaan dan industri Indonesia memiliki daya saing di pasar domestik maupun internasional. Kedua, mendefinisikan daya saing negara lebih problematik daripada daya saing perusahaan. Bila suatu perusahaan tidak dapat membayar gaji karyawannya, membayar pasokan bahan baku dari para pemasok, dan membagi deviden, maka perusahaan itu akan bangkrut dan terpaksa keluar dari bisnis yang
digelutinya.


Perusahaan memang bisa bangkrut, namun negara tidak memiliki bottom line alias tidak akan pernah “keluar dari arena persaingan”. Suka atau tidak suka dengan kinerjanya, negara tidak bisa begitu saja keluar dari bisnis. Tidak seperti perusahaan, persaingan antar negara bukan merupakan zero-sum game. Negara bersaing di pasar internasional tidak hanya sebagai pesaing, yang hanya untung di atas pengorbanan negara lain. Sebaliknya, ada interdependensi antar negara: sebagai pasar ekspor atau sebagai pemasok barang-barang impor. Krugman, oleh karena itu, menyimpulkan bahwa negara-negara utama di dunia tidak dalam tingkat persaingan yang signifikan satu sama lain. Dengan kata lain, dalam konteks bisnis, persaingan antar produk atau perusahaanlah yang lebih menonjol. Dalam perdagangan internasional, keunggulan komparatif suatu produk dapat dilihat dari nilai RCA (Revealed Comparative Advantage). Konsep RCA pertama kali diperkenalkan oleh Bela Balassa pada tahun 1965. Sejak itu banyak laporan penelitian dan studi empiris menggunakan RCA sebagai indikator keunggulan komparatif suatu produk dan dipergunakan sebagai acuan spesialisasi perdagangan internasional. Konsep RCA yang dipelopori oleh Balassa memang ditujukan untuk mengukur keunggulan relatif suatu produk (Balassa, 1965).

Bagaimana daya saing industri Indonesia di pasar global? Dilihat dari indeks RCA (Revealed Comparative Advantage), ternyata tidak berubah. Indeks RCA menunjukkan perbandingan antara pangsa ekspor komoditas atau sekelompok komoditas suatu negara terhadap pangsa ekspor komoditas tersebut di dunia. Sejak 1982 keunggulan komparatif Indonesia meningkat pesat dengan pertumbuhan rata-rata 19% per tahun hingga tahun 1994. Tidak berubahnya RCA Indonesia selama 1965-82 besar kemungkinan karena ekspor kita masih didominasi oleh minyak dan produk pertanian yang padat sumberdaya alam (agricultural and resource-based industries) (Kuncoro, 2006). Tidak mengherankan, sejak tahun 1983 Indonesia memiliki keunggulan komparatif dalam ekspor produk manufaktur yang padat sumberdaya alam, seperti kayu lapis, dan padat karya, seperti tekstil, garmen, mebel, dan alas kaki (Aswicahyono, 1996; Soesastro, 1998). Setelah 1982, sejalan dengan upaya pengembangan broadbase industry, produk ekspor nonmigas Indonesia semakin beragam.


Namun, komoditi industri manufaktur Indonesia yang meningkat pangsa pasarnya di dunia masih didominasi oleh produk berteknologi sederhana seperti karet, plastik, tekstil, kulit, kayu, dan gabus. Ini mencerminkan masih lambatnya proses perubahan struktur ekspor manufaktur, rendahnya divesifikasi produk dan pasar ekspor Indonesia (Tambunan, 2001: 104-6). Kendati demikian, yang cukup memprihatinkan adalah adanya indikasi mulai melemahnya daya saing Indonesia sejak tahun 1992. Salah satu sebab utamanya adalah masih terkonsentrasinya produk ekspor nonmigas yang tergolong hasil dari industri yang padat sumberdaya alam (NRI) dan berbasis tenaga kerja yang tidak terampil (ULI). Struktur ekspor nonmigas Indonesia telah berubah berdasarkan intensitas input, yang dikelompokkan menjadi 5 kategori, yakni: (a) NRI (Natural Resource Intensive), (b) ULI (Unskilled Labour Intensive), (c) PCI (Physical Capital Intensive), (d) HCI (Human Capital Intensive), dan (e) TI (Technological Intensive).


Agaknya Indonesia harus mulai bersiap-siap menyongsong  tahapan keunggulan komparatif yang lebih tinggi, yaitu ke sector padat teknologi (TI) dan padat tenaga ahli (HCI). Ini terbukti di kala 1993-1995, produk yang justru menanjak pertumbuhannya (setidaknya pertumbuhan nilai ekspornya 50% dan nilai ekspornya minimum US$ 100 juta) adalah produk dari industri TI dan HCI. Diantara produk ekspor yang naik daun adalah barang-barang elektronik, kimia dan mesin nonelektronik termasuk peralatan telekomunikasi, komputer dan komponennya. Menariknya, hamper semua produk tersebut memiliki rasio impor kurang dari 1, yang menunjukkan betapa produk-produk tersebut tidak memiliki kadar kandungan impor yang tinggi. Sayangnya, ketika krisis melanda Indonesia pada tahun 1997- 1999, peranan industri manufaktur terhadap total ekspor mengalami penurunan dari tahun ke tahun. Banyak perusahaan industri terpaksa mem-PHK buruhnya, mengurangi kapasitas produksi, dan tidak sedikit yang terpaksa menutup usahanya. Gejala deindustrialisasi mulai terlihat di sentra-sentra industri utama khususnya di pulau Jawa .

0 comments:

Post a Comment

◄ Newer Post Older Post ►
 

Copyright 2012 Mathedu Unila is proudly powered by blogger.com | Design by Tutorial Blogspot